Pages

Rabu, 11 Oktober 2017

CRITICAL REVIEW JURNAL PERENCANAAN PESISIR
Kajian Pengembangan Desa Pesisir Tangguh di Kota Semarang
Oleh : Muhammad Bintang Wahyu Aji ( 08151025 )

Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir, dan Pulau-Pulau Kecil (KP3K) menginisiasi suatu program inovatif untuk memberikan semangat gerakan baru bagi kebangkitan dan kemajuan desa-desa pesisir di Indonesia yakni Pengembangan Desa Pesisir Tangguh yang disingkat PDPT untuk mengatasi realitas empat persoalan pokok yang dihadapi oleh desa-desa pesisir di Indonesia saat ini. Empat permasalahan pokok tersebut adalah tingkat kemiskinan masyarakat pesisir, tingginya kerusakan sumber daya pesisr, rendahnya kemandirian organisasi sosial dan lunturnya nilai-nilai budaya lokal, serta rendahnya infrastruktur desa dan kesehatan lingkungan pemukiman. Maka untuk mengikuti program PDPT tersebut, Kota Semarang harus menyiapkan dokumen yang dibutuhkan, khusunya profil desa pesisir tangguh sebagai syarat utamanya.
Kajian pengembangan desa Pesisir tangguh di Kota Semarang bertujuan untuk menyusun profil desa pesisir berupa hasil identifikasi potensi dan permasalahan desa yang digunakan sebagai dasar penetapan desa yang berpeluang menjadi sasaran program PDPT KKP. Proses penyusunan profil desa pesisir tangguh tersebut terdiri dari lima tahap. Tahap satu adalah tahap persiapan untuk koordinasi tim penyusun, stakeholder terkait, metodologi serta penyusunan rencana kerja. Tahap dua, pengumpulan data sekunder dari instansi. Tahap tiga, survei lapangan untuk koreksi data dan validasi data. Tahap empat, identifikasi potensi dan permasalahan, yang didasarkan pada indikator faktor sosial dan kependudukan, sarana dan prasarana, ekonomi, kelembagaan, sumber daya alam, kondisi lingkungan, dan bencana alam pesisir. Penetapan prioritas klaster desa pesisir didasarkan pada hasil skoring dan ranking. Analisis skoring bertujuan untuk memudahkan dalam mengelompokkan desa-desa dengan potensi dan permasalahan yang hampir sama dengan tujuh indikator yang telah ditetapkan. Kemudian dilanjutkan dengan ranking, penentuan ranking dilakukan dengan membuat skala jumlah hasil skoring. Dari hasil analisis penyusunan Profil Desa Pesisir Tangguh di Kota Semarang, telah terpilih 3 kelurahan yaitu Mangkang Kulon, Mangunharjo dan Mangkang Wetan.
Negara Indonesia yang berada diantara benua Asia dan Australia serta lautan Hindia dan Pasific, mempunyai tingkat kerentanan yang tinggi terhadap dampak perubahan iklim. Dari data hasil kajian yang dilakukan oleh Kementrian Lingkungan Hidup, menunjukkan kenaikan temperatur permukaan mencapai 1 derajat Celcius selama abad 20. Potensi risiko iklim pada setiap sektor pembangunan semakin meningkat. Dampak perubahan iklim menjadi tantangan prioritas pertama dalam pembangunan nasional. Sehingga pada tahun 2011, pemerintah mulai menginisiasi program rencana penanganan dampak perubahan iklim. Ketika tahun 2014, dokumen Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan atau RAN-API di semua sektor telah dipublikasikan oleh BAPPPENAS.
Penyusunan program aksi adaptasi sub-bidang pesisir dan pulau-pulau kecil mengacu pada Indonesian Climate Change Sectoral Roadmap (Bappenas, 2010). Program aksi tersebut dilakukan dengan menggunakan lima strategi yaitu di antaranya Stabilitas kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil terhadap ancaman perubahan iklim,  Peningkatan kualitas lingkungan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, Pelaksanaan pembangunan struktur adaptasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,  Penyesuaian rencana tata ruang kawasan perkotaan terhadap ancaman perubahan iklim, dan Pengembangan dan optimalisasi riset dan sistem informasi tentang perubahan iklim di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Strategi-strategi ini diwujudkan melalui lima program utama (klaster). Salah satunya adalah klaster ketiga. Klaster Pengelolaan dan Pendayagunaan Lingkungan dan Ekosistem, yang rencana aksi tersebut diarahkan pada upaya pengembangan Coastal Resilience Village (CRV) atau Desa Pesisir Tangguh. Program PDPT ini difungsikan untuk peningkatan kualitas kehidupan masyarakat pesisir berbasis masyarakat baik peningkatan dari segi pelayanan prasarana dan sarana sosial ekonomi, lingkungan hidup, kapasitas kelembagaan masyarakat dan pemerintah dalam proses keputusan secara partisipasif, serta kesiap siagaan terhadap bencana. Pelaksanaan Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) tidak terpisahkan substansinya dengan RKP 2013, Renstra, serta RPJM. Untuk kedudukan program PDPT dalam konteks perencanaan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil menurut UU No. 27 tahun 2007 merupakan rencana zonasi rinci sebagai jabaran dari rencana zonasi kabupaten.
Untuk mengikuti program PDPT dari Kementrian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia, salah satu syarat utamanya adalah menyusun profil desa pesisir tangguh yang akan diusulkan. Pada kajian penyusunan profil desa pesisir tangguh di Kota Semarang, menggunakan analisis skoring dan ranking yang didasarkan pada 8 kriteria, yaitu terletak dalam satu wilayah perencanaan, kondisi lingkungan kumuh, angka pengangguran yang tinggi, masyarakat berpendapatan rendah, terjadinya degradasi lingkungan pesisir, rawan terjadi bencana pesisir, tingkat pelayanan prasaran dasar lingkungan terbatas/redah, dan tingkat pelayanan prasarana pendukung kegiatan usaha terbatas/rendah. Delapan kriteria yang digunakan sebagai dasar penetapan desa pesisir PDPT telah sesuai dengan pedoman umum program PDPT yang diberikan oleh KKP, yaitu setidaknya 3 kriteria yang digunakan adalah Lokasi rawan bencana dan perubahan iklim, mempunyai potensi ekonomi lokal unggulan, masyarakat pesisir miskin namun potensial aktif dan memiliki motivasi untuk memperbaiki kehidupannya, kondisi lingkungan permukiman kumuh, terjadi degradasi lingkungan pesisir, dan/atau tingkat pelayanan dasar rendah. Untuk kelengkapan data yang digunakan yang digunakan sebagai dasar analisis, tingkat akurasi beberapa data yang ditampilkan rendah. Dikarenakan kurang adanya konsistensi penulisan sumber dan tahun perolehan data. Sehingga hasil analisis data tersebut dianggap kurang akurat dan obyektif. Dalam proses analisis skoring dan ranking tersebut kurang jelas. Proses analisis tidak ditampilkan untuk setiap desa pesisir yang ada di Kota Semarang. Hanya ditampilkan hasil setiap indikator dan nilai indikator setiap kriteria, dan tidak adanya pemberian keterangan angka yang digunakan dalam proses analisa. Sehingga masyarakat awam kurang memahami proses detail analisis skoring dan ranking yang telah dilakukan di setiap desa pesisir.
Apabila dibandingkan dengan penyusunan profil desa pesisir tangguh lainnya maka data fakta yang ditampilkan cukup lengkap dan akurat, proses analisis lebih detail dan dilengkapi dengan analisis pada isu strategis yang terkait dengan analisis finansial, produksi surplus, serta SWOT. Dalam substansi indikator pada faktor bencana alam pesisr, kurang detail pembahasannya apabila dibandingkan dengan jurnal sejenis yang membahas kerentanan pesisir terhadap perubahan iklim. Diantaranya bisa menggunakan data oseanografi wilayah yang digunakan sebagai dasar analisis terjadinya bencana dengan metode kajian garis pantai, intrusi, dan valuasi kerugian (prediksi kerugian ekonomi). Namun, penyajian proses penyusunan profil desa tangguh di Kota Semarang secara keseluruhan sudah dianggap cukup memenuhi standar pedoman program PDPT KKP.
Program Pengembangan Desa Pesisir Tangguh (PDPT) yang mendorong masyarakat desa menjadi ujung tombak dalam pemerataan pembangunan perlu didukung oleh setiap sektor , Kementrian atau lembaga lain terkait untuk menciptakan sinergi. Dikarenakan program PDPT ini telah mengacu pada Kerangka acuan pengurangan risiko bencana dunia yang dirumuskan di Hyogo, Jepang tahun 2005 (HFA 2005). Yang telah menyebutkan bahwa risiko bencana di suatu kawasan meningkat jika potensi kejadian bahaya yang tinggi bertemu dengan kondisi sosial, ekonomi dan lingkungan yang tidak tertata untuk menghadapi bencana. Jika indikasi tersebut dibawa untuk melihat kondisi desa-desa pesisir di Indonesia, maka secara umum tingginya potensi risiko bencana di kawasan pesisir Indonesia selain disebabkan oleh faktor geologis dan meteorologis, juga disebabkan oleh kondisi lingkungan dan ekosistem pesisir yang tidak terjaga, rendahnya kemandirian sosial, mulai lunturnya norma dan budaya lokal dalam menjaga lingkungan serta rendahnya kualitas dan kuantitas infrastruktur dasar yang berujung pada tingginya tingkat kemiskinan di kawasan pesisir.
Sesuai dengan Program PDPT yang diinisiasi oleh Kemetrian Kelautan dan Perikanan, dalam penyusunan profil desa tangguh perlu adanya pedoman yang lebih detail dan standar baku yang harus ada dalam dokumen. Karena pada buku pedoman yang telah dipublikasikan secara online masih secara umum dan menimbulkan banyak persepsi. Program PDPT ini membutuhkan sinergi antar Kementrian dan stakeholder lainnya untuk menghilangkan ego setiap kepentingan dan bersatu untuk mewujudkan desa pesisir yang tangguh.
Berdasarkan UU No 27 tahun 2007 Program PDPT sudah sesuai dengan tujuan dari RKP 2013, Renstra, RPJP, RZWP3K Kab/Kota, dan Rencana Desa Pesisir Terpadu dan Mandiri 20 Tahun. Untuk selanjutnya, setelah penyusunan profil desa dalam proses, hasil, dan keluaran program PDPT masyarakat dan pemerintah perlu untuk selalu mengawasi jalannya proses yang sedang berlangsung dan bisa mengadopsi beberapa konsep teknis program yang sejenis dengan PDPT dari negara lain yang telah berhasil mengelola kawasan pesisirnya dengan baik. Dan diharapkan pula pemerintah memberikan tambahan target lokasi desa pesisir tangguh yang saat ini masih ditargetkan 22 lokasi serta memberikan bantuan dan informasi terkait program PDPT yang lebih banyak dan jelas pada situs resmi PDPT untuk memberikan kemudahan akses informasi bagi seluruh masyarakat terutama di desa pesisir yang ada di Indonesia.






Daftar Pustaka

Kementrian Kelautan dan Perikanan. (2011). Pedoman Umum Penyusunan Rencana Pengembangan Desa Pesisir. Jakarta.
Bappeda Kabupaten Banyuasin. (2013). Penyusunan Dokumen Profil Desa Pesisir di Kabupaten Banyuasin. Pangkalan Balai.
BAPPENAS. (2014). Rencana Aksi Nasional Adaptasi Perubahan Iklim (RAN-API). Jakarta.

Su’ud, Moh. Mambaus., Dhiroh, Anis Satuna. (2014). Laporan Program Desa Tangguh Bencana 2014 di Desa Pesanggaran. Banyuwangi.

Senin, 20 Maret 2017

Permasalahan Ekosistem Pantai Berpasir Tanjung Jumlai Kabupaten Penajam Paser Utara

Menurut Suprihayono (2007) wilayah pesisir adalah wilayah pertemuan antara daratan dan laut ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin. Sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan karena kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran.

Pengertian wilayah pesisir menurut kesepakatan terakhir internasional adalah merupakan wilayah peralihan antara laut dan daratan, ke arah darat mencakup daerah yang masih terkena pengaruh percikan air laut atau pasang surut, dan ke arah laut meliputi daerah paparan benua (continental shelf) (Dahuri, dkk, 2001). Pada ekosistem pesisir tersebut dibagi dua jenis yaitu ekosistem alami dan ekosistem buatan. Pada ekosistem alami terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah terumbu karang (coral reefs), hutan mangrove, padang lamun Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata (Dahuri, Rais, Ginting dan Sitepu, 2004).
Pada essay ini akan dibahas terkait ekosistem pesisir alami yakni permasalahan yang ada pada ekosistem pantai tanjung jumlai di Kabupaten Penajam Paser Utara, sebelumnya definisi pantai adalah batas antara wilayah yang bersifat daratan dengan wilayah yang bersifat lautan. Dimana daerah daratan adalah daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaan daratan dimulai dari batas garis pasang tertinggi. Sedangkan daerah lautan adalah daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaanlaut dimulai dari sisi laut pada garis surut terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi dibawahnya (Triadmodjo,1999).
Seperti yang di sebutkan pada website resmi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Kalimantan Timur, Pantai Tanjung Jumlai mempunyai lebar 100 sampai 150 meter dengan bentangan gari pantai sepanjang 15 kilometer membujur dari Kelurahan Tanjung Tengah, Saloloang, Kampung Baru dan Pejala, Kecamatn Penajam.
Kawasan pantai ini terkenal karena eksotis panoramanya, yang didukung pasir kwarsa kasar yang ada di kawasan itu, sehingga dasar laut dapat terlihat jelas. Bahkan ahli geologi laut dari sebuah Yayasan Pesisir yang pernah menangani kawasan ini menyebutkan, keindahannya sangat jarang ditemui di pantai lain di wilayah perairan Indonesia. Dikawasan ini juga tersedia beberapa hectare arealnya sebagai tempat hiking (Perkemahan) dengan panorama alam lautnya, tetapi itu beberapa tahun yang lalu. Nyatanya sekarang pantai tanjung jumlai sudah tidak seindah itu,
Pantai tanjung sekarang memiliki kondisi yang buruk dalam segi keindahan maupun segi fasilitas umum. Kurangnya perhatian pemerintah dan juga kesadaran pengunjung memuat lingkungan pantai menjadi kotor, banyak sampah – sampah plastic yang bisa kita jumpai di sepanjang pantai, belum lagi ketika hari – hari libur, tentunya akan sangat banyak sampah yang di hasilkan di pantai tanjung jumlai ini, dikarenakan jumlah pengunjung yang sangat ramai, di tambah juga wisata pantai tanjung jumlai ini tidak memeiliki petugas kebersihan yang bertanggung jawab akan kebersihan pantai tersebut, di tambah juga dengan minimnya fasilitas persampahan yang ada di kawasan tersebut, hanya sedikit tempat sampah yang di miliki kawasan wisata tanjung jumlai yang bisa di bilang sangat kurang jumlah tempat sampahnya karena selain jumlah pengunjung yang sangat ramai dikunjungi apabila hari – hari libur sekolah dan nasional.
Abrasi adalah proses dimana terjadi pengikisan pantai yang disebabkan oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak. Abrasi atau kata lain biasa disebut erosi pantai. Kerusakan garis pantai tersebut dikarenakan terganggunya keseimbangan alam daerah dipantai tersebut. Dan meski Abrasi dapat disebabkan oleh gejala alami tapi manusia lah yang dijadikan sebagai penyebab utama terjadinya abrasi. Abrasi ini dapat terjadi kerena beberapa faktor antara lain, faktor alam, faktor manusia. Akibat dari abrasi ini akan menyebabkan pantai menggetarkan batuan ataupun tanah dipinggir pantai sehingga lama-kelamaan akan berpisah dengan daratan dan akan mengalami abrasi pantai. Proses terjadi Abrasi yaitu pada saat angin yang bergerak dilaut menimbulkan arus serta gelombang mengarah ke pantai, sehingga apabila proses ini berlangsung lama akan mengikis pinggir pantai.

Pantai tanjung jumlai sudah mengalami abrasi, pastinya akan semakin bertambah luas jika tidak segera ditangani oleh pemerintah, salah satu pencegahan abrasi tersebut bisa menggunakan cara penanaman pohon mangrove, atau dalam arti lain hutan mangrove, atau juga bisa di buat ombak, akan tetapi dana yang di butuhkan sangatlah mahal. Tetapi sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk mengelola sumber daya alamnya dengan sebaik mungkin, karena merupakan sebuah asset yang harus di jaga oleh pemerintah, pariwisata juga apabila di kelola dengan baik bisa menjadi tambahan pendapatan ekonomi daerah yang jumlahnya cukup besar di lihat dari jumlah pengunjung yang ada.